EMOSI

Misa jumat pertama malam itu sudah selesai sejam yang lalu. Juwita masih khusuk berdoa meskipun mereka yang hadir tadi sudah keluar meninggalkan gereja, hanya pak Leo petugas gereja yang masih berada di dalam gereja merapikan buku puji syukur. Juwita berlutut di bangku baris ketiga dan kedua telapak tangannya dikatupkan, ditempelkan di dadanya. "Adakah ujud spesial sehingga ia seperti lupa waktu." gerutu Beni kepadanya

Beni mendekatinya: "Juwita.....wit.....wit." Beni berbisik memperhatikan Juwita tidak beranjak, dia tetap diam dan berdoa. Beni tidak tahu apa yang dibutuhkan Juwita di dalam doanya yang begitu khusuk dan penting. Hanya Juwita dan Tuhan saja yang tahu. (Mungkin ia memohon kepada-Nya untuk memberi kesabaran dirinya dan bisa menerima Beni serta mendoakannya, bisa menjadi semakin baik sebagai kekasih.)

Hubungan Juwita dan Beni telah berjalan dua tahun dan ia merasa Beni masih memiliki emosi yang kadang-kadang tidak terkendali atau mudah marah dan dilampiaskan olehnya dengan tidak berpikir secara dewasa dan tidak tahu apa akibatnya sehingga hanya mengikuti kemauannya sendiri.

Pasangan muda seperti Beni dan Juwita memang memiliki rasa ego yang tinggi. Beni kurang fokus dengan tugas dan kegiatan omk di parokinya. Sedangkan Juwita aktif di omk. Karena kesibukan Beni yang begitu padat atau ia memang belum fokus dengan menggereja di lingkungan dan paroki. Ia hanya menyempatkan dirinya pergi misa bersama Juwita, kekasihnya yang ia cintai.

"Permisi pak Leo." sapa Juwita ketika melintas di hadapan pak Leo, sembari menggandeng tangan Beni yang tadi berbisik di samping dan menunggu cukup lama. Mereka berdua menuju parkiran motor dan segera melaju dengan berboncengan mesra layaknya orang berpacaran. Sementara pak Leo berdiri termangu di depan pintu gereja memperhatikan mereka berdua yang sedang menjalin hubungan dan mereka tidak terlihat lagi di hadapannya. 

"Bang....kenapa kita lurus, nggak belok kiri?" tanya Juwita kepada Beni. Karena Beni tidak langsung menuju rumah Juwita dan tidak tahu mau diajak kemana, karena Beni diam saja dan terus memacu kecepatan kendaraannya seperti dikejar hantu jalanan yang menakutkan serta menciutkan hati Juwita.

"Ada apa dengan dirimu, Ben? Aku telah memperhatikanmu sejak kita keluar dari gereja dan aku merasakan ada yang aneh denganmu, kamu marah ya sama aku?" Suara lantang Juwita untuk menenangkan Beni sia-sia saja karena tidak terdengar oleh Beni, dan saat bersamaan suara angin kencang membuyarkan suara Juwita sehingga Beni terus memacu sepeda motornya dengan gila.

Beni yang emosi dan gelap mata, tidak konsentrasi di jalan, apalagi mendengar saran yang diberikan oleh kekasihnya. Ia telah lepas kendali dengan motornya dan tidak dapat lagi mengendalikan dan.......

"Gubraak...." motor Beni terjerembab masuk lubang besar, lubang galian pipa air minum yang berada di pinggir jalan. Tubuh Juwita terpelanting jauh dan jatuh berguling-guling di atas aspal, sementara itu Beni dan motornya terperangkap masuk ke dalam lubang galian yang cukup dalam.

Seketika itu pula banyak orang yang berada  tidak jauh dari kecelakaan berdatangan menghampiri mereka berdua setelah mendengar dan melihat kejadian yang bunyinya cukup keras. Segera mereka berlarian menuju tempat peristiwa dan berusaha menolong kedua orang yang mengalami kecelakaan. Yang satu terjerembab di aspal dan tak berdaya serta berlumuran darah, yang satu lagi masih berada di dalam lubang, compang-camping dan berdarah.

Keadaan Juwita dan Beni masih belum jelas karena masih dalam pertolongan dan dalam kondisi sekarat bagi Juwita. Seseorang bergegas menghubungi ambulan dan seseorang lain menghubungi kantor polisi. Sementara itu jalan menjadi macet dan setiap kendaraan bermotor harus berjalan dalam antrian dan pelan, mereka yang melintas sengaja melemparkan pandangannya kepada korban yang ada di pinggir jalan dan suasana bertambah macet meskipun pak polisi sudah datang mengatur para pengemudi serta orang banyak yang berdatangan.

Beni mengeliat di dalam lubang galian, sadar dan berusaha bangun. Beberapa orang lelaki di sekitarnya menghampirinya memberi pertolongan kepadanya lalu menarik tangan kanan Beni ke atas permukaan. Kemudian sepeda motornya diangkat ke atas oleh beberapa orang lainnya. Rasa sakit luka berdarah yang dialaminya di kedua siku tidak digubris olehnya. 

Segera ia mendekati Juwita yang masih terkapar di antara kerumunan orang banyak yang ingin melihat keadaannya. Tak beberapa lama suara ambulan terdengar semakin dekat dan tiba di dekat Juwita. Ia ditandu dengan tempat tidur ambulan, segera dibawa ke rumah sakit terdekat bersama Beni dan seorang wanita perawat.

Ia menemani dan menangani kondisi Juwita dengan bantuan peralatan medis yang dipasangkan ke tangan kanan dan mulutnya. Suara sirine ambulan tak henti mengaung meminta diberikan jalan untuk dapat segera tiba di rumah sakit terdekat dan si korban segera mendapatkan penanganan medis yang lebih baik.

Dengan penuh rasa was-was Beni memegang kaki Juwita, pikirannya melayang teringat ketika ngobrol-ngobrol dengan beberapa orang pelayat pada saat tetangga Beni meninggal dua hari yang lalu. Katanya orang kalau mau meninggal, pelan-pelan dari ujung kakinya terasa dingin. Beni kuatir tentang hal itu dan ia berusaha menepis pikiran yang ngawur dan mencoba berdoa supaya Tuhan berkenan memberi kesempatan hidup bagi Juwita dan segera sadar dari komanya.

Ketika memasuki ruang IGD, sesaat akan dilakukan tindakan, Juwita menghembuskan nafasnya yang terakhir. Beni jatuh bersimpuh di samping ranjang Juwita, menyesali kesembronoannya mengendarai sepeda motor dengan penuh emosi yang tak terkendali, hanya gara-gara hal sepele merasa tidak diindahkan oleh Juwita ketika ia khusuk berdoa. 

Rays
060223






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Senandung Damai Di Negeri-Ku, Indonesia

Perhatian Yesus Kepada Orang-Orang Yang Mendatangi-Nya

Istirahat dan Makan pun Tidak Sempat